Cirebon
adalah kota pelabuhan di pesisir utara Pulau Jawa yang pernah menjadi
pelabuhan penting pada zamannya. Tidak heran kalau jejak perdagangan dan
percampuran budaya banyak mempengaruhi tampilan desain dari Cirebon.
Banyak hal yang bisa diperoleh dari perjalanan wisata ke Cirebon,
diantaranya adalah kunjungan ke beberapa keraton yang ada disana, salah
satunya adalah Keraton Kasepuhan.
Alkisah,
Cirebon berasal dari sebuah dukuh kecil yang dibangun oleh Ki Gedeng
Tapa dan diberi nama Caruban, arti kata yang berasal dari bahasa Sunda
ini adalah campuran. Hal ini terutama karena penduduk pedukuhan yang
berkembang menjadi desa dan akhirnya menjadi sebuah kota itu adalah
percampuran antara pendatang dari berbagai bangsa, agama, bahasa, dan
mata pencaharian.
Pada
awalnya mata pencaharian utama masyarakat daerah itu adalah sebagai
nelayan, terutama untuk menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di
sepanjang pantai. Untuk membuat terasi mereka menggunakan udang rebon,
dan dari situ muncul istilah Cai Rebon (bahasa Sunda) atau Air Rebon,
air bekas pembuatan terasi. Bisa jadi dari sinilah asal muasal nama kota
yang berada di tengah-tengah antara Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Saya
masih ingat komik pertama yang mengenalkan saya kepada kota Cirebon
adalah “Kisah Sunan Gunung Jati dan Putri Cina”. Saya lupa penerbitnya,
seharusnya komik ini masih ada di antara harta karun saya yang berupa
buku-buku berdebu di atticrumah.
Tidak heran kalau kisah putri dari China ini merupakan salah satu kisah
yang menjadi bagian sejarah dari Cirebon, karena piring-piring porselin
dari Tiongkok menghiasi dinding keraton-keraton di Cirebon, bahkan juga
di situs bersejarah lainnya di Cirebon. Bukan hanya dari hiasan
porselin di dinding yang menandakan hubungan baik keraton dengan
Tiongkok pada masa lalu yang tampil di Cirebon, tetapi terlihat juga
pada berbagai pola desain dan penggunaan warna.
Cirebon
tidak hanya memiliki dua buah keraton, tetapi keberadaan Keraton
Kasepuhan dan Keraton Kanoman adalah bukti keberadaan politik ‘devide et
impera’ kaum kolonialis. Perpecahan yang dibuat oleh Belanda untuk
melemahkan perlawanan masyarakat berakibat timbulnya dua keraton ini.
Sesuai dengan namanya maka Keraton Kanoman adalah keraton yang lebih
muda, yang muncul belakangan. Selain kedua keraton itu seharusnya masih
ada Keraton Kacirebonan. Ketiganya memiliki ciri menghadap ke Utara, di
sebelah kiri Kraton ada mesjid, dan di taman keraton ada patung macan
perlambang Prabu Siliwangi, tokoh sentral dalam sejarah Cirebon. Keraton
juga memiliki alun-alun yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya
masyarakat sekaligus juga tempat menggelar pasar. Bahkan Keraton Kanoman
tampaknya sekarang malahan terkurung di dalam pasar yang bermula dari
alun-alun keraton itu.
Kehadiran
Belanda tampaknya juga diabadikan dengan kehadiran keramik-keramik
Belanda yang ditempel di dinding keraton. Dinding keraton bagaikan
catatan sejarah dalam dimensi ruang.
Cirebon
sendiri merupakan tempat yang menarik untuk mempelajari akulturasi
budaya yang terjadi di kota pelabuhan yang cukup aktif ini. Motif
megamendung yang merupakan motif khas batik Cirebon merupakan pengaruh
Oriental seperti yang biasa tampak pada gambar awan di keramik-keramik
asal Tiongkok. Warna-warna yang lebih cerah tidak hanya mewarnai batik
mereka, tetapi juga mewarnai interior bangunannya, warna ini berbeda
dari warna batik Jogja maupun Solo yang awalnya hanya memakai satu
warna.
Keraton
Kasepuhan adalah keraton yang paling terawat di antara keraton-keraton
di Cirebon. Keraton awal adalah keraton Pakungwati yang berdiri di
belakang keraton Kasepuhan, dibangun oleh Prabu Cakrabuana (tahun 1445).
Keraton tersebut kemudian diperluas pada tahun 1529. Mesjid Agung yang
berdiri di Timur keraton dibangun pada tahun 1549.
Yang
menarik dari Keraton ini adalah kereta yang dikeramatkan yaitu Kereta
Singa Barong. Sejak tahun 1942 kereta ini hanya dikeluarkan pada tanggal
1 Syawal untuk dimandikan. Kembarannya berada di Keraton Kanoman
bernama Kereta Paksi Naga Liman. Kereta ini sangat menarik karena
memperlihatkan hasil karya teknologi yang tinggi. Sistim suspensi
hidrolik yang dibangun dengan kayu dan baja itu memungkinkan kenyamanan
pemakaian si pengguna. Belum lagi desain roda yang menghindarkan
pengendara dari lumpur yang terlontar dari roda. Bahwa enam abad yang
lalu sudah ada teknologi yang begitu maju, rasanya sangat menakjubkan.
Apalagi menurut pengantar wisata, teknologi ini diakui secara
internasional sebagai teknologi yang maju di zamannya. Rupanya keraton
bukan hanya tempat belajar kebudayaan dan sejarah, tetapi bisa juga
menjadi tempat belajar sejarah kemajuan iptek di masa lalu. (28 Maret
2009)
Komik Kisah Sunan Gunung Jati dan Putri Cina??? wah boleh tuh dshare sob, jarang ada he
ReplyDelete