Menelusuri Kehidupan Malam Kota Cirebon (2) Pijat STW dan ABG, Apa Bedanya?


Ilustrasi
SUARA ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Meski tidak terlalu kencang, hentakannya cukup membuatku sedikit tergeragap. Itu karena pikiranku tengah melayang–layang jauh, mengingat-ingat apa saja kejadian yang kualami sepanjang siang dan sore tadi.
Itu pasti room boy. Sekitar sepuluh menit sebelumnya aku memang memesan sikat dan pasta gigi merek tertentu ke room service melalui interkom. Sudah menjadi kebiasaan yang mendarah-daging sejak lama, setiap aku menginap di hotel, tak terkecuali di hotel bintang lima, aku tak menyikat gigi dengan fasilitas yang disediakan hotel. Tetap saja aku harus mencari sikat dan terutama pasta gigi merek favoritku.
Apalagi saat ini aku menginap di hotel melati, meski standar kebersihan dan pelayanannya patut aku acungi jempol. Kalau dipikir-pikir, pada hal-hal tertentu, kualitasnya bahkan tak kalah dengan standar hotel berbintang. Hal itu sebanding dengan harga sewa yang harus aku bayar, yang memang di atas rata-rata hotel melati.
Benar saja, seorang lelaki muda berseragam batik membungkuk mengucapkan salam saat kubuka pintu. Usai menyerahkan barang-barang pesananku, tangannya refleks merapihkan barang-barang di atas meja tamu. Ditatanya satu per satu barang-barang yang ada di situ, sehingga letak dan susunannya menjadi enak dipandang mata. Naluri room boy-nya terlihat sudah benar-benar tajam dan matang.
“Silahkan, Pak. Selamat beristirahat,” katanya diiringi senyum ramah.
Aku termasuk orang yang paling tidak bisa mengacuhkan kebaikan orang. Maka, ketika melihat betapa baik dan sopannya si room boy itu, spontan saja tanganku merogoh saku celana, mencari kemungkinan berapa uang receh yang dapat aku berikan kepadanya sebagai tip.
“Ini, Mas. Lumayan buat beli rokok,” kataku dengan suara agak kencang, karena si room boy sudah melangkah ke luar kamar.
“O, ya. Terima kasih, Pak,” jawabnya, seraya kembali memasuki kamar dan menerima sodoran uang receh dari tangaku.
“Hmm.., barangkali mau pijat dulu, Pak. Mumpung masih sore,” kata si room boy, agak segan dia menatap wajahku.
“Memang ada?” Tanyaku sekenanya.
Pikirku, enak juga kalau dipijit dulu sebelum tidur. Perjalanan Jakarta-Cirebon yang menghabiskan waktu sekitar 5 jam ditambah keliling-keliling kota sekitar 2 jam, cukup membuat urat-uratku menegang. Tukang pijat bisa jadi solusi yang tepat untuk mengembalikan kebugaranku.
“Banyak, Pak. Mau yang laki-laki atau perempuan? Mau yang STW atau ABG?” Si room boy makin berani.
Nah, lho. Aku agak terperangah. Masak untuk urusan pijat saja, pertanyaannya kok panjang sekali seperti quisioner survey. Kalau hanya ditanya mau tukang pijat laki-laki atau perempuan saja sih aku maklum. Tapi ini kok ada STW dan ABG segala.
“Kalau yang STW itu ibu-ibu, Pak. Umur 30 tahun sampai 40-an lah. Kalau ABG ya remaja. Umur belasan tahun sampai 20-an,” lanjut si room boy menerangkan, seolah mengerti pada kebingunganku.
“Ya, ya , ya…,” aku manggut-manggut. Sekarang aku paham. STW yang dimaksud si room boy pasti “setengah tuwa” . Sedangkan yang ia maksud dengan ABG adalah “Anak Baru Gede.” Hmmm… Ada-ada saja istilah di dunia “persilatan” ini.
“Jadi, mau yang mana, Pak?” Tanya si room boy, membuyarkan lamunanku.
“O…ya. Begini. Kamu duduk dulu deh. Biar kita ngobrol dulu. Soalnya aku kurang paham soal-soal begini. Jangan sampai nanti aku salah pilih,” kilahku. Naluri jurnalisku kembali tertantang. Ini kesempatan yang baik untuk menemukan bahan tulisan, pikirku.
“Kalau tukang pijat laki-laki, bagaimana? Maksudku, apa bedanya dengan tukang pijat perempuan?” Tanyaku, sesaat setelah si room boy duduk.
“Kalau laki-laki pijat beneran, Pak. Orangnya rata-rata sudah tua. Mengerti urat-urat. Pokoknya kalau capek terus dipijat, tidurnya pulas dan besoknya fresh lagi, Pak,” jawab si room boy seolah berpromosi.
“Perempuan juga memijat ‘kan?” Kejarku.
“Memijat juga, Pak. Terutama yang STW. Tapi kalau yang ABG sih rata-rata memijatnya kurang baik. Mereka lebih pinter yang lainnya,” jawab si room boy seraya tersenyum penuh arti.
“Maksud yang lainnya?” Tanyaku, pura-pura tak mengerti.
“Ah, Bapak. Ya begitulah, Pak. Masak nggak ngerti. Mereka sih memang jadi tukang pijat hanya untuk kedok saja. Aslinya mereka memang cari duit ‘gede’ dari tamu-tamu hotel kok,” paparnya, sambil tak lepas senyum.
“O, begitu. Kalau yang STW bagaimana?” tanyaku lagi.
“Nah, kalau STW kebanyakan pintar memijat, Pak. Pijatannya enak, tenaganya kuat, pokoknya hampir sama dengan tukang pijat laki-laki. Bedanya, sehabis pijat, Bapak bisa juga minta yang lainnya,” Jawabnya.
“Maksudnya seperti ke tukang pijat ABG?” Tanyaku, memastikan.
“Persis. Tapi itupun kalau tamunya berkenan. Soalnya mereka ‘kan sudah tidak muda lagi,” jawab si room boy.
Aku manggut-manggut. Dalam benakku langsung berderet kata-kata, berdesakan ingin segera aku tumpahkan di layar komputer. Sangat menarik sisi gelap kehidupan malam di Kota Cirebon ini. Dan aku yakin belum banyak orang yang menuliskannya secara jujur. Tak percuma aku jauh-jauh datang dari Jakarta ke Cirebon.
“Jadi, Bapak mau dipesankan yang mana?” Tanya si room boy, kembali membuatku tergeragap.
“O… ya. Hmm… yang laki-laki saja. Tapi kalau bisa jangan yang terlalu tua. Soalnya aku suka kasihan kalau melihat tukang pijat kecapean,” jawabku.
“Bukan yang ABG atau STW?” Tanya si room boy seraya menyeringai nakal.
“Sementara tidak,” jawabku mantap.
Share on Google Plus

About ridwan comunity smpn 6

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment