SUARA ketukan pintu membuyarkan
lamunanku. Meski tidak terlalu kencang, hentakannya cukup membuatku
sedikit tergeragap. Itu karena pikiranku tengah melayang–layang jauh,
mengingat-ingat apa saja kejadian yang kualami sepanjang siang dan sore
tadi.
Itu pasti room boy. Sekitar sepuluh
menit sebelumnya aku memang memesan sikat dan pasta gigi merek tertentu
ke room service melalui interkom. Sudah menjadi kebiasaan yang
mendarah-daging sejak lama, setiap aku menginap di hotel, tak terkecuali
di hotel bintang lima, aku tak menyikat gigi dengan fasilitas yang
disediakan hotel. Tetap saja aku harus mencari sikat dan terutama pasta
gigi merek favoritku.
Apalagi saat ini aku menginap di hotel
melati, meski standar kebersihan dan pelayanannya patut aku acungi
jempol. Kalau dipikir-pikir, pada hal-hal tertentu, kualitasnya bahkan
tak kalah dengan standar hotel berbintang. Hal itu sebanding dengan
harga sewa yang harus aku bayar, yang memang di atas rata-rata hotel
melati.
Benar saja, seorang lelaki muda
berseragam batik membungkuk mengucapkan salam saat kubuka pintu. Usai
menyerahkan barang-barang pesananku, tangannya refleks merapihkan
barang-barang di atas meja tamu. Ditatanya satu per satu barang-barang
yang ada di situ, sehingga letak dan susunannya menjadi enak dipandang
mata. Naluri room boy-nya terlihat sudah benar-benar tajam dan matang.
“Silahkan, Pak. Selamat beristirahat,” katanya diiringi senyum ramah.
Aku termasuk orang yang paling tidak
bisa mengacuhkan kebaikan orang. Maka, ketika melihat betapa baik dan
sopannya si room boy itu, spontan saja tanganku merogoh saku celana,
mencari kemungkinan berapa uang receh yang dapat aku berikan kepadanya
sebagai tip.
“Ini, Mas. Lumayan buat beli rokok,” kataku dengan suara agak kencang, karena si room boy sudah melangkah ke luar kamar.
“O, ya. Terima kasih, Pak,” jawabnya, seraya kembali memasuki kamar dan menerima sodoran uang receh dari tangaku.
“Hmm.., barangkali mau pijat dulu, Pak. Mumpung masih sore,” kata si room boy, agak segan dia menatap wajahku.
“Memang ada?” Tanyaku sekenanya.
Pikirku, enak juga kalau dipijit dulu
sebelum tidur. Perjalanan Jakarta-Cirebon yang menghabiskan waktu
sekitar 5 jam ditambah keliling-keliling kota sekitar 2 jam, cukup
membuat urat-uratku menegang. Tukang pijat bisa jadi solusi yang tepat
untuk mengembalikan kebugaranku.
“Banyak, Pak. Mau yang laki-laki atau perempuan? Mau yang STW atau ABG?” Si room boy makin berani.
Nah, lho. Aku agak terperangah. Masak
untuk urusan pijat saja, pertanyaannya kok panjang sekali seperti
quisioner survey. Kalau hanya ditanya mau tukang pijat laki-laki atau
perempuan saja sih aku maklum. Tapi ini kok ada STW dan ABG segala.
“Kalau yang STW itu ibu-ibu, Pak. Umur
30 tahun sampai 40-an lah. Kalau ABG ya remaja. Umur belasan tahun
sampai 20-an,” lanjut si room boy menerangkan, seolah mengerti pada
kebingunganku.
“Ya, ya , ya…,” aku manggut-manggut.
Sekarang aku paham. STW yang dimaksud si room boy pasti “setengah tuwa” .
Sedangkan yang ia maksud dengan ABG adalah “Anak Baru Gede.” Hmmm…
Ada-ada saja istilah di dunia “persilatan” ini.
“Jadi, mau yang mana, Pak?” Tanya si room boy, membuyarkan lamunanku.
“O…ya. Begini. Kamu duduk dulu deh. Biar
kita ngobrol dulu. Soalnya aku kurang paham soal-soal begini. Jangan
sampai nanti aku salah pilih,” kilahku. Naluri jurnalisku kembali
tertantang. Ini kesempatan yang baik untuk menemukan bahan tulisan,
pikirku.
“Kalau tukang pijat laki-laki,
bagaimana? Maksudku, apa bedanya dengan tukang pijat perempuan?”
Tanyaku, sesaat setelah si room boy duduk.
“Kalau laki-laki pijat beneran, Pak.
Orangnya rata-rata sudah tua. Mengerti urat-urat. Pokoknya kalau capek
terus dipijat, tidurnya pulas dan besoknya fresh lagi, Pak,” jawab si
room boy seolah berpromosi.
“Perempuan juga memijat ‘kan?” Kejarku.
“Memijat juga, Pak. Terutama yang STW.
Tapi kalau yang ABG sih rata-rata memijatnya kurang baik. Mereka lebih
pinter yang lainnya,” jawab si room boy seraya tersenyum penuh arti.
“Maksud yang lainnya?” Tanyaku, pura-pura tak mengerti.
“Ah, Bapak. Ya begitulah, Pak. Masak
nggak ngerti. Mereka sih memang jadi tukang pijat hanya untuk kedok
saja. Aslinya mereka memang cari duit ‘gede’ dari tamu-tamu hotel kok,”
paparnya, sambil tak lepas senyum.
“O, begitu. Kalau yang STW bagaimana?” tanyaku lagi.
“Nah, kalau STW kebanyakan pintar
memijat, Pak. Pijatannya enak, tenaganya kuat, pokoknya hampir sama
dengan tukang pijat laki-laki. Bedanya, sehabis pijat, Bapak bisa juga
minta yang lainnya,” Jawabnya.
“Maksudnya seperti ke tukang pijat ABG?” Tanyaku, memastikan.
“Persis. Tapi itupun kalau tamunya berkenan. Soalnya mereka ‘kan sudah tidak muda lagi,” jawab si room boy.
Aku manggut-manggut. Dalam benakku
langsung berderet kata-kata, berdesakan ingin segera aku tumpahkan di
layar komputer. Sangat menarik sisi gelap kehidupan malam di Kota
Cirebon ini. Dan aku yakin belum banyak orang yang menuliskannya secara
jujur. Tak percuma aku jauh-jauh datang dari Jakarta ke Cirebon.
“Jadi, Bapak mau dipesankan yang mana?” Tanya si room boy, kembali membuatku tergeragap.
“O… ya. Hmm… yang laki-laki saja. Tapi
kalau bisa jangan yang terlalu tua. Soalnya aku suka kasihan kalau
melihat tukang pijat kecapean,” jawabku.
“Bukan yang ABG atau STW?” Tanya si room boy seraya menyeringai nakal.
“Sementara tidak,” jawabku mantap.
0 komentar:
Post a Comment