Proklamasi Cirebon 1945

Pagi itu, Rabu 15 Agustus 1945. Ratusan pemuda terlihat berkumpul di Alun-alun Kejaksan, Kota Cirebon, Jawa Barat. Meski tengah berpuasa di bulan Ramadan, mereka terlihat bersemangat dan bergairah. Rencananya, hari itu mereka akan membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bertepatan dengan yang akan juga dilakukan oleh pemimpin bangsa di Jakarta.
Tapi, ada situasi di Jakarta yang tak diketahui oleh para pemuda di Cirebon. Karena keterbatasan alat komunikasi ketika itu, maka sejarah mencatat bahwa Kemerdekaan Indonesia terlebih dahulu diproklamirkan di Cirebon. Sedangkan di Jakarta sendiri proklamasi baru dikumandangkan dua hari kemudian oleh Soekarno-Hatta.
Suhu politik ketika itu memang menghangat. Sehari sebelum kasak-kusuk di Cirebon, kabar mengejutkan datang bahwa Jepang sudah menyerah pada Sekutu. Kalangan muda waktu itu tak mau menunggu lama dan ingin segera menjadikan momentum itu untuk memerdekakan Indonesia. Karena itu, Soekarno-Hatta didesak untuk memproklamirkan kemerdekaan keesokan harinya.
Salah satu tokoh yang ikut mendesak percepatan proklamasi itu adalah Sutan Sjahrir, Ketua Partai Nasional Indonesia Pendidikan (biasa juga disebut PNI Baru). Meski belum ada kepastian bahwa Soekarno-Hatta akan memproklamirkan berdirinya negara Indonesia pada 15 Agustus, Sjahrir sudah melangkah jauh.
Sebagai salah satu wilayah yang menjadi basis PNI Pendidikan serta berjarak tak jauh dari Jakarta, Sjahrir memerintahkan kadernya di Kota Cirebon untuk bersiap menunggu Proklamasi Republik Indonesia yang akan dicetuskan di Jakarta. Dan memang, ratusan pemuda yang hadir pagi itu di Alun-alun Kejaksan adalah kader PNI Pendidikan yang dikoordinir oleh dokter Soedarsono (ayah mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono).
Namun, menjelang petang kabar kepastian proklamasi dari Jakarta tak kunjung datang. Di Jakarta sendiri suhu politik terus memanas. Soekarno menolak keinginan sebagian pemimpin muda untuk segera memerdekakan diri. Menurut Soekarno, jika proklamasi dilakukan terburu-buru, akan terjadi pertumpahan darah karena secara de facto Jepang masih berkuasa di Indonesia, sementara kabar menyerahnya Jepang kepada Sekutu juga belum dapat dikonfirmasi.
Sedangkan dari pihak kaum muda, saat itu adalah momentum yang tepat dengan memanfaatkan situasi tak menentu yang dihadapi tentara Jepang di Indonesia. Jika diundur terlalu lama, dikhawatirkan tentara Jepang sudah lebih siap menghadapi gerakan kemerdekaan. Jadi, langkah Soekarno untuk berunding dengan pihak Jepang guna merumuskan kemerdekaan dinilai kelompok muda sebagai akal-akalan Jepang mempertahankan kekuasaan.
Kendati ada pertentangan, Sjahrir–yang kelak menjadi Perdana Menteri Indonesia pertama–tetap berpegang pada janji yang diucapkan Soekarno sehari sebelumnya. Selasa, 14 Agustus, Sjahrir dan Hatta menemui Soekarno di rumahnya di Pegangsaan Timur 56 dan meminta Soekarno segera memproklamirkan kemerdekaan. Soekarno berjanji akan membacakan proklamasi pada sore keesokan harinya.
Sayang, hingga hari menjelang petang, janji itu tak dipenuhi. Sementara para pemuda di Kota Cirebon yang berkumpul sejak pagi sudah tak sabar lagi. Akhirnya Soedarsono yang ketika itu menjabat Kepala Rumah Sakit Umum Kesambi (sekarang RSUD Gunungjati) membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya dari Alun-alun Kejaksan. Namun, jejak dari naskah Proklamasi yang dibacakan itu tak lagi ditemukan.
Di Jakarta hari sudah berganti dan desakan agar Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan mencapai puncaknya. Melihat bahwa keduanya masih sibuk berunding dengan Jepang, kesabaran para pemuda pun habis. Kamis dini hari, 16 Agustus, sekelompok pemuda menculik Soekarno-Hatta dan membawanya ke markas garnisun pasukan Pembela Tanah Air di Rengasdengklok, Jawa Barat.
Penculikan inilah yang kemudian memaksa Dwitunggal untuk membacakan teks Proklamasi keesokan paginya di Jakarta. Namun, Sjahrir tak hadir dalam peristiwa penting dan bersejarah itu. Bisa jadi, dia merasa proklamasi kemerdekaan Indonesia versi dirinya sudah lebih dulu dilakukan dua hari sebelumnya di Cirebon.
Diakui, tak banyak yang mengetahui peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI di Cirebon, kendati bukti sejarah masih bisa dilihat hingga kini. Di lokasi dokter Soedarsono membacakan naskah Proklamasi, ada sebuah tugu berwarna putih dengan ujung lancip berdiri tegak di tengah perempatan jalan di dekat Alun-alun Kejaksan.
Namun, tak penting mempersoalkan proklamasi di Cirebon atau di Jakarta, karena kita semua telah sepakat untuk hal yang satu ini. Yang bisa dicatat dari semuanya adalah betapa dinamisnya suasana ketika itu. Banyak tokoh dan banyak pemikiran, namun semuanya disatukan oleh keinginan untuk merdeka, bebas menentukan masa depan tanpa diatur bangsa lain.
Patut disayangkan, perjalanan waktu telah menggerus semangat itu. Kini, setelah 66 tahun kemerdekaan diraih, cita-cita bersama itu mulai luntur. Kebersamaan kini diterjemahkan dengan saling pukul dan bunuh di antara sesama anak bangsa. Kemerdekaan pun diperlihatkan dengan nafsu menguasai serta menindas kaum lemah. Dan, semangat untuk membangun masa depan yang lebih baik digantikan oleh sikap rakus dan munafik para pemimpinnya.
Lantas, apa yang masih tersisa dari cita-cita merdeka selain tugu di alun-alun Kota Cirebon dan sebuah tugu lainnya yang lebih besar di Jakarta? Nyaris tak ada. Kalaupun ada hanyalah selebrasi tahunan di Istana, kantor pemerintahan, dan sekolah-sekolah, yang membosankan serta tak mengubah apa-apa. Usia kemerdekaan yang terus bertambah rupanya membuat kita lupa akan janji dan semangat kebersamaan para pendahulu.
Kendati demikian, bangsa ini tetap harus mendapat penghargaan serta penghormatan yang layak setelah berabad-abad diperjuangkan dengan darah, harta, dan air mata jutaan penduduknya. Jadi, Selamat Ulang Tahun Indonesia! Masih banyak yang menunggu janji suci bisa terwujud di tanah yang subur dan kaya ini.***
Share on Google Plus

About ridwan comunity smpn 6

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Post a Comment